Demi Masa

MENSUCIKAN HATI DALAM MENGGAPAI RIDHO ILAHI

Rabu, 05 September 2012

SEMBELIHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

SEMBELIHAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh : Abu Hayyan Ahmad Al Majtani




Dalam Islam sembelihan memiliki dua istilah yaitu Nahr [arab: نحر] artinya menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat kalung (pangkal leher). Sedangkan Dzabh [arab: ذبح], menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Untuk lebih mudah memahami apa perbedaan Nahr [arab: نحر] dan Dzabh [arab: ذبح], marilah kita pelajari penjelasan para ulama ahlus sunah dalam hal ini.
1.      Nahr [arab: نحر], menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat kalung (pangkal leher). Ini adalah cara menyembelih hewan unta.
Allah berfirman,
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ الله لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا
Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah… (QS. Al Haj: 36)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan ayat di atas, (Untanya) berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu kaki kiri depan diikat. (Tafsir Ibn Katsir untuk ayat ini)
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menyembelih unta dengan posisi kaki kiri depan diikat dan berdiri dengan tiga kaki sisanya. (HR. Abu daud dan disahihkan Al-Albani).
2.      Dzabh [arab: ذبح], menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Ini cara menyembelih umumnya binatang, seperti kambing, ayam, dst.
Konsep sembelihan dalam Islam atau Dzabh [arab: ذبح], telah meletakkan garis panduan dalam penyembelihan hewan dengan baik dan teliti. Pengetahuan mendalam mengenai kaedah penyembelihan yang mengikut syariat sangatlah penting karena ia berkaitan erat dengan factor kesehatan jismiyah dan ruhiyah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang yang disembelih kerana yang lain dari Allah, dan yang mati tercekik, dan yang mati dipukul, dan yang mati jatuh dari tempat yang tinggi, dan yang mati ditanduk, dan yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan yang disembelih atas berhala.”   (Surah Al-Maidah: 3)
            Dalam Islam sembelihan haruslah dibagian tubuh yang secara cepat dapat mematikan yakni yang paling dapat banyak mengeluarkan darah, yaitu kerongkongan. Hal ini sesuai dengan beberapa hadits berikut:

 رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَلْقَى الْعَدُوَّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفُرًا وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

          Rafi’ bin Khadij berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan berjumpa musuh kami besok, tetapi kami tidak punya pisau (untuk menyembelih).” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa saja darah yang dialirkan dan disebut nama Allah atasnya, maka makanlah, selama bukan dengan gigi atau kuku, aku akan katakan kepada kalian tentang hal itu. Adapun gigi dia adalah tulang, sedangkan kuku adalah pisau bagi orang Habasyah (etiopia).” (HR.  Bukhari, No. 2356, 5179. At Tirmidzi,  No. 1491. Abu Daud, No. 2821. An Nasa’i, No. 4404.  Ibnu Abi Syaibah, 4/626.    Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 4263.  Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 18706. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya).
             Imam Abu Thayyib Abadi Rahimahullah berkata:
وَالْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَجُوز الذَّبْح بِكُلِّ مُحَدَّد يُنْهِر الدَّم فَيَدْخُل فِيهِ السِّكِّين وَالْحَجَر وَالْخَشَبَة وَالزُّجَاج وَالْقَصَب وَسَائِر الْأَشْيَاء الْمُحَدَّدَة
            “Hadits ini merupakan dalil bahwa dibolehkan menyembelih dengan segala benda yang tajam yang bisa mengalirkan darah, termasuk di dalamnya adalah pisau, batu, kayu, kaca, bambu, dan segala sesuatu yang tajam.” (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud,  8/15. Cet.2. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut - Libanon).
Dari uraian ini dapat disimpulkan, bahwa:
  1. Dilarang menyembelih dengan tulang, gigi, dan kuku
  2. Dibolehkan dengan seluruh benda selain tulang dan kuku,  tapi harus tajam
  3. Menyembelih hendaknya dibagian tubuh hewan yang paling mematikan
  4. Wajib membaca nama Allah Ta’ala (bismillah) sebelum menyembelih




Tata cara dalam Penyembelihan
Pada bagian ini kita akan membahas tata cara Dzabh, karena Dzabh inilah menyembelih yang dipraktikkan di tempat kita -bukan nahr-.
Beberapa adab yang perlu diperhatikan:
1. Hendaknya yang menyembelih adalah shohibul kurban sendiri, jika dia mampu. Jika tidak maka bisa diwakilkan orang lain, dan shohibul kurban disyariatkan untuk ikut menyaksikan.
2. Gunakan pisau yang setajam mungkin. Semakin tajam, semakin baik. Ini berdasarkan hadis dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).
3. Tidak mengasah pisau dihadapan hewan yang akan disembelih. Karena ini akan menyebabkan dia ketakutan sebelum disembelih. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad sahih).
4. Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:
Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.
5. Membaringkan hewan di atas lambung sebelah kiri.
Imam An-Nawawi mengatakan,
Terdapat beberapa hadis tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.) dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).
Penjelasan yang sama juga disampaikan Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Hewan yang hendak disembelih dibaringkan ke sebelah kiri, sehingga memudahkan bagi orang yang menyembelih. Karena penyembelih akan memotong hewan dengan tangan kanan, sehingga hewannya dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’, 7:442).
6. Menginjakkan kaki di leher hewan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ضحى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بكبشين أملحين، فرأيته واضعاً قدمه على صفاحهما يسمي ويكبر
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah …. (HR. Bukhari dan Muslim).
7. Bacaan ketika hendak menyembelih.
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus membaca basmalah. Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat. Allah berfirman,
وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..
Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).

8. Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu akbar) setelah membaca basmalah
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
9. Pada saat menyembelih dianjurkan menyebut nama orang yang jadi tujuan dikurbankannya herwan tersebut.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban atas namaku dan atas nama orang yang tidak berkurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau
hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul kurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul kurban atau
Berdoa agar Allah menerima kurbannya dengan
doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul kurban).” [1]
Catatan: Bacaan takbir dan menyebut nama sohibul kurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Sehingga kurban tetap sah meskipun ketika menyembelih tidak membaca takbir dan menyebut nama sohibul kurban.
10. Disembelih dengan cepat untuk meringankan apa yang dialami hewan kurban.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.
11. Pastikan bahwa bagian tenggorokan, kerongkongan, dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong.
Syekh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh Sa’id Al-Qohthoni):
  1. Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
  2. Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
  3. Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السن والظفر
“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
12. Sebagian ulama menganjurkan agar membiarkan kaki kanan bergerak, sehingga hewan lebih cepat meregang nyawa.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah kiri. Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)
13. Tidak boleh mematahkan leher sebelum hewan benar-benar mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.
Dinyatakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, “Para ulama menegaskan makruhnya memutus kepala ketika menyembalih dengan sengaja. Khalil bin Ishaq dalam Mukhtashar-nya untuk Fiqih Maliki, ketika menyebutkan hal-hal yang dimakruhkan pada saat menyembelih, beliau mengatakan,
وتعمد إبانة رأس
“Diantara yang makruh adalah secara sengaja memutus kepala” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 93893).
Pendapat yang kuat bahwa hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal.
Imam Al-Mawardi –salah satu ulama Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih burung sampai putus lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.”
Imam Syafi’i mengatakan,
فإذا ذبحها فقطع رأسها فهي ذكية
“Jika ada orang menyembelih, kemudian memutus kepalanya maka statusnya sembelihannya yang sah” (Al-Hawi Al-Kabir, 15:224).
Hukum Sembelihan Yang Tidak Menyebut Nama Alloh
Para ulama berselisih pendapat tentang ini tentang boleh tidaknya, sehingga membawa konsekuensi halal atau haramnya hasil sembelihannya. Dalam hal ini ada Ada tiga pendapat ulama.
1. Argumen Yang Membolehkan, baik sengaja atau lupa membaca tasmiyah
Kelompok ini berpendapat, bahwa membaca tasmiyah hanyalah sunah bukan wajib. Inilah pendapat Ali bin Abi Thalib dari golongan sahabat, Imam An Nakha’i, Imam Hammad bin Abu Sulaiman, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam Ishaq ar Rahawaih, Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnul Mundzir, dan banyak ulama fiqih lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Sesungguhnya tidaklah disyaratkan membaca tasmiyah, jika tidak membacanya karena sengaja atau lupa, maka tidaklah memudharatkan, inilah madzhab Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan sekalian para sahabatnya, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, dan satu riwayat dari Imam Malik, juga ada keterangan tentang itu dari sahabatnya, yakni  Asyhab bin Abdul Aziz. Juga dihikayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Atha bin Abi Rabah. Wallahu A’lam “ (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim,  3 /324-325. Dar thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’).



 Golongan ini memiliki beberapa alasan, di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
“Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan Yang disembelih atas nama berhala; dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib Dengan undi batang-batang anak panah. “ (QS. Al Maidah (5): 3)
                Maksud ayat ‘kecuali yang sempat kamu sembelih’ artinya orang Islam. Bagi kelompok ini keislaman seseorang sudah cukup. Jika memang tidak cukup, pasti ayat tersebut menekankan pengucapan bismillah, tetapi ternyata tidak ada. Maka halal, sembelihan orang Islam, yang tidak membaca bismillah.
                Sedangkan ayat yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu makan binatang  yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik (berdosa) “ (QS. Al An’am (6): 121)
Menurut Imam Asy Syafi’i maksudnya adalah: “Terhadap apa-apa yang disembelih untuk selain Allah, sebagaimana Al An’am  ayat:145:
“Atau sesuatu yang dilakukan secara fasiq, yaitu binatang yang disembelih selain untuk Allah.”. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 3/325)
                Hal ini dikuatkan lagi oleh hadits:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت الرجل منا يذبح وينسى ان يسمى فقال النبي صلى الله عليه وسلم اسم الله على كل مسلم. . مَرْوَانُ بْنُ سَالِمٍ ضَعِيفٌ. وَقَالَ ابْنُ قَانِعٍ « اسْمُ اللَّهِ عَلَى فَمِ كُلِّ مُسْلِمٍ ».
            Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama Allah? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Nama Allah ada pada setiap muslim.” (HR. Sunan Ad Daruquthni, Bab Ittikhadz Al Khal minal Khamr,  94. Sanadnya terdapat Marwan bin Salim, dia dhaif. Berkata Ibnu Qani’:” Nama Allah ada pada setiap mulut orang Islam.” Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra  , No. 18673)

               
 Ada Hadits lain yang menguatkan lagi:
عن ابن عباس رضى الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال المسلم يكفيه اسمه فان نسى ؟ ان يسمى حين يذبح فليذكر اسم الله وليأكله
            Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: “Seorang muslim cukuplah namanya sendiri, maka jika dia lupa (menyebut nama Allah) ketika menyembelih, maka sebutlah nama Allah setelah itu, lalu makanlah.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  Juz. 9, Hal. 239. No. 18669).
            Dalam As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi ada atsar dari Ibnu Abbas:
عن ابن عباس رضى الله عنهما فيمن ذبح ونسى التسمية قال المسلم في اسم الله وان لم يذكر التسمية
            Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, tentang orang yang menyembelih dan lupa tasmiyah (menyebut nama Allah), dia menjawab: “Seorang muslim ada nama Allah, walau pun dia tidak menyebut tasmiyah.” (Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra  No. 18672).
                Ada hadits lain yang menguatkan pendapat ini:
عن الصلت قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله أو لم يذكر
            Dari Shalt, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sembelihan seorang muslim adalah halal, baik dia menyebut nama Allah atau tidak menyebut.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al kubra ,   No. 18674).
Riwayat lain:
عن أناس من أصحاب النبي عليه السلام أنهم سألوا النبي صلى الله عليه وسلم ، فقالوا : أعاريب يأتوننا بلحمان  مشرحة ، والجبن ، والسمن ، والفراء ، ما ندري ما كنه إسلامهم ؟ قال : « انظروا ما حرم عليكم فأمسكوا عنه ، وما سكت عنه فإنه عفا لكم عنه ، وما كان ربك نسيا
Dari para sahabat Nabi, bahwa mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Orang Badui biasa datang kepada kami dengan membawa daging, keju, dan samin, padahal kita tidak tahu keislaman mereka?” Nabi menjawab: “Lihatlah apa-apa yang Allah haramkan buat kalian, maka peganglah itu. Sedangkan yang Dia diamkan, maka itu termasuk yang dimaafkanNya buat kalian, sesungguhnya Tuhanmu tidaklah lupa.” (HR. Ath Thahawi, Musykilul Atsar  No. 638).
                Hadits lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
            Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang medatangi kami sambil membawa  daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan makanlah.” (HR. Bukhari No. 1952, 5188, 6963. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 18667. Malik No. 1038).
                Demikianlah keterangan dan hujjah dari golongan yang mengatakan bolehnya menyembelih tanpa membaca bismillah bagi seorang muslim, baik sengaja atau lupa. Sekian.
2. Argumen yang Mengharamkan
                Kelompok ini punya pendapat bahwa haram hukumnya memakan hewan sembelihan yang tidak disebut nama Allah Ta’ala atasnya. Dengan kata lain, wajib hukumnya tasmiyah ketika menyembelih.
                Dalilnya adalah:
“Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik (berdosa) “ (QS. Al An’am (6): 121)
Berkata Imam Ibnu Katsir: “Dengan ayat inilah adanya madzhab yang menyatakan tidak halal sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah, walau yang meyembelih adalah seorang muslim.”
                Lalu dia berkata: “Ada yang mengatakan, tidak halal sembelihan dengan sifat seperti itu, sama saja apakah dia meninggalkan secara sengaja atau lupa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nafi’ pelayan Ibnu Umar, Amir Asy Sya’bi, Muhammad bin Sirin, ini juga riwayat dari Imam Malik, juga salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal, yang didukung oleh sekolompok pengikutnya baik yang dulu atau belakangan. Inilah yang dipilih oleh Abu Tsaur, Daud Azh Zhahiri, juga Abu al Futuh Muhammad bin Muammad  bin Ali Ath Tha’i dari kalangan pemgikut  Syafi’i yang belakangan dalam kitab Al Arba’in, mereka juga berhujjah dengan Al Maidah ayat:4. Makanlah dari apa Yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah nama Allah atasnya.” (Tafsir Al Quran Al Azhim,  3/324).
                Sedangkan hadits:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت الرجل منا يذبح وينسى ان يسمى فقال النبي صلى الله عليه وسلم اسم الله على كل مسلم. . مَرْوَانُ بْنُ سَالِمٍ ضَعِيفٌ. وَقَالَ ابْنُ قَانِعٍ « اسْمُ اللَّهِ عَلَى فَمِ كُلِّ مُسْلِمٍ ».
            Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama Allah? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Nama Allah ada pada setiap muslim.” (HR. Sunan Ad Daruquthni, Bab Ittikhadz Al Khal minal Khamr,  94. Sanadnya terdapat Marwan bin Salim, dia dhaif. Berkata Ibnu Qani’:” Nama Allah ada pada setiap mulut orang Islam.” Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra  , No. 18673).
            Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab perawinya yakni Marwan bin Salim adalah Dhaif. Imam Ibnu katsir berkata: “tetapi isnad hadits ini dhaif, karena ada rawi Marwan bin Salim, lebih dari satu imam yang membicarakan kedhaifannya. “ (Tafsir Al Quran Al Azhim, 3/327).
Imam Bukhari berkata tentang marwan bin Salim: Munkarul hadits. Ahmad dan lainnya: tidak tsiqah. Ad daruquthni berkata: matruk. Muslim dan Abu Hatim berkata: munkarul hadits. Abu Urubah al harani berkata: memalsukan hadits. Ibnu Adi: kebanyakan haditsnya tidak diikuti oleh orang-orang terpercaya. An Nasa’i berkata; Matrukul hadits. (Al Majruhin, Juz. 3, Hal. 13)
Oleh karena itu Imam Al Baihaqi sendiri mengatakan bahwa hadits ini munkar. (As Sunan Al Kubra  No. 18673)
عن ابن عباس رضى الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال المسلم يكفيه اسمه فان نسى ؟ ان يسمى حين يذبح فليذكر اسم الله وليأكله
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: “Seorang muslim cukuplah namanya sendiri, maka jika dia lupa (menyebut nama Allah) ketika menyembelih, maka sebutlah nama Allah setelah itu, lalu makanlah.”  (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  Juz. 9, Hal. 239. No. 18669).
                Ini juga tidak bisa dijadikan hujjah, sebab di dalamnya ada Muhammad bin Yazid bin Sinan, yang didhaifkan oleh sebagian besar   ulama, hanya sedikit saja yang menganggapnya tsiqah (kredible).   Abu Daud mengatakan: dia bukan apa-apa. Ad Daruquthni mengatakan: dhaif. At Tirmidzi mengatakan: riwayat darinya tidak bisa diikuti, dia dhaif.  Abu Hatim mengatakan: dia bukan apa-apa, dan kelalaiannya lebih parah dibanding ayahnya. Tetapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam ats tsiqat. Maslamah juga mengatakan tsiqah, sedangkan Al Hakim mengatakan tsiqah terhadap riwayat darinya, jika  diriwayatkan dari Mas’ud. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 31/525. Cet. 1, 1326H. Mathba’ah Dairatul Ma’arif. An Nizhamiyah – India)
                Riwayat lainnya:
عن الصلت قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله أو لم يذكر
            Dari Shalt, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sembelihan seorang muslim adalah halal, baik dia menyebut nama Allah atau tidak menyebut.”  (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al kubra ,   No. 18674)
            Hadits ini walau pun shahih, tetapi mursal. Karena Shalt seorang tabi’in yang tidak bertemu lansung dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagian imam seperti Imam Asy Syafi’i dan lain-lain tidak menjadikannya sebagai hujjah.

                Kelompok yang mengharamkan, juga berdalil dengan ayat berikut:
“Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am (6): 118)
Jadi, syarat keimanan menurut ayat ini adalah menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelih.
Juga dikuatkan oleh hadits:
عَنْ عَدِيٍّ قَالَ : { قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا قَوْمٌ نَرْمِي فَمَا يَحِلُّ لَنَا ؟ قَالَ : يَحِلُّ لَكُمْ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذَكَرْتُمْ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَخَزَقْتُمْ فَكُلُوا مِنْهُ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَا قَتَلَهُ السَّهْمُ بِثِقَلِهِ لَا يَحِلُّ )

            Dari Adi, dia berkata: AKu berkata: “Ya Rasulullah, kami adalah kamu yang memanah, maka apakah yang halal bagi kami?” Rasulullah menjawab: “Yang halal bagi kamu adalah apa yang kamu sembelih dan kamu tombak, dan yang kamu sebut nama Allah atasnya, maka makanlah itu.”  Diriwayatkan Ahmad, dan ini dalil bahwa apa-apa dibunuh dengan panah adalah tidak halal. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar,  8/135. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah)
            Pada halaman lain Imam Syaukani berkata:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ التَّسْمِيَةَ وَاجِبَةٌ لِتَعْلِيقِ الْحِلِّ عَلَيْهَا
            “Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tasmiyah adalah wajib untuk mengkaitkan kehalalan (hewan sembelihan)” (Nailul Athar,  8/136)
             Dari Rabi’ bin Khadij Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa  Sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ
          “Apa saja darah yang dialirkan dan disebut nama Allah atasnya,maka makanlah”  (HR. At Tirmidzi No. 1491, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5565)
            Ini adalah dalil yang tegas tentang keharusan membaca nama Allah Ta’ala atas hewan sembelihan yang akan dimakan.
           Dalil lain, dari Ibnu umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

  وَلَا آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
            “Aku tidaklah memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya.” (HR. Bukhari)
            Demikianlah dalil-dalil yn menyatakan haramnya sembelihan tanpa menyebut nama Allah Ta’ala
                Ada pun hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
            Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang medatangi kami sambil membawa  daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan makanlah.”  (HR. Bukhari No. 1952, 5188, 6963. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 18667. Malik No. 1038)
           Menurut kelompok ini hadits ini mesti ditakwil, sebab tidak ada keterangan yang pasti, apakah bismillah dibaca atau tidak sebagaimana yang tertera dalam hadits ini sendiri. Oleh karena itu hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah yang kuat dan spesifik (qath’iyud dalalah).
Imam Ibnu Taimiyah memilih dan menguatkan bahwa pandangan yang mewajibkan membaca tasmiyah secara mutlak:
وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ ؛ فَإِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ قَدْ عَلَّقَ الْحَلَّ بِذِكْرِ اسْمِ اللَّهِ

            “Dan ini merupakan zhahir dari bebagai pendapat, maka sesungguhnya Al Kitab Dan As Sunnah telah mengaitkan kehalalan dengan menyebut nama Allah Ta’ala.” (Majmu’  Fatawa, 9/247. Mawqi’ Al Islam)
3. Yang mengatakan haram jika sengaja tidak membaca, namun halal jika karena lupa.
                Berkata Imam Ibnu Katsir:
إن ترك البسملة على الذبيحة نسيانا لم يضر وإن تركها عمدًا لم تحل هذا هو المشهور من مذهب الإمام مالك، وأحمد بن حنبل، وبه يقول أبو حنيفة وأصحابه، وإسحاق بن راهويه: وهو محكي عن علي، وابن عباس، وسعيد بن المُسَيَّب، وعَطَاء، وطاوس، والحسن البصري، وأبي مالك، وعبد الرحمن بن أبي ليلى، وجعفر بن محمد، وربيعة بن أبي عبد الرحمن.

          “Jika meninggalkan bacaan basmalah karena lupa maka itu tidaklah memudharatkan, dan jika meninggalkannya karena sengaja maka tidak halal.” Ini adalah pandangan masyhur dari  madzhab Imam Malik, Ahmad bin Hambal, dengannya pula pandangan Abu hanifah dan sahabat-sahabatnya, Ishaq bin Rahawaih, juga dihikayatkan dari Ali, Ibnu abbas, Said bin al musayyab, Atha’, Thawus, Hasan al bashri, Abu malik, Abdurrahman bin Abi Laila, Ja’far bin Muhammad, dan rabi’ah bin Abdurrahman.” (Tafsir Al Quran Al Azhim, 3/ 326)
                Dalil kelompok ini adalah:
                Allah Ta’ala befirman:
"Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al Baqarah (2): 286)
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah bersabda:
إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان، وما استكرهوا عليه
            “Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak menganggap, pen) dari umatku: Orang yang salah, yang lupa, dan yang dipaksa.” (HR.   Ibnu Majah,  No. 2045, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shaihul Jami’ No. 7110, dan  dihasankan oleh Imam An Nawawi dalam Arbai’innya no. 39)
          Demikianlah tiga kelompok dengan masing-masing hujjahnya. Manakah yang benar?Jika diperhatikan semua dalil   secara menyeluruh, maka pandangan kelompok tiga lebih kuat; yakni haram jika sengaja tidak membaca, namun halal jika karena lupa.  
Maroji’ Kitab :
1.       Tafsir Al Quran Al Azhim, Al - Imam Ibn Katsir
2.       Shahih Bukhori
3.       Shahihul Jami’ , Syaikh Al Albani
4.       Aunul Ma’bud, Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi
5.       As Sunan Al Kubra, Imam Baihaqi
6.       Salatul Idain, Syekh Sa’id Al-Qohthoni
7.       Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, Imam Nawawi
8.       Syarhul Mumthi’, Syaikh ‘Utsaimin
9.       Majmu’  Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10.    Tahdzib At Tahdzib, Al – Imam Ibnu Hajar ‘Atsqolani
11.    Nailul Athar, Imam Syaukani