SEMBELIHAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh : Abu Hayyan
Ahmad Al Majtani
Dalam Islam sembelihan memiliki dua istilah yaitu Nahr [arab: نحر] artinya menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat
kalung (pangkal leher). Sedangkan
Dzabh [arab: ذبح], menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas
(ujung leher). Untuk lebih mudah memahami apa perbedaan Nahr [arab: نحر] dan Dzabh
[arab: ذبح],
marilah kita pelajari penjelasan para ulama ahlus sunah dalam hal ini.
1.
Nahr [arab: نحر],
menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat kalung (pangkal leher). Ini
adalah cara menyembelih hewan unta.
Allah berfirman,
وَالْبُدْنَ
جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ الله لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ
الله عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا
Telah Kami jadikan untuk kamu
unta-unta itu bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak
padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan
berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah…
(QS. Al Haj: 36)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
menjelaskan ayat di atas, (Untanya) berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu
kaki kiri depan diikat. (Tafsir Ibn Katsir untuk ayat ini)
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu
‘anhuma, beliau mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat menyembelih unta dengan posisi kaki kiri depan diikat dan
berdiri dengan tiga kaki sisanya. (HR. Abu daud dan disahihkan Al-Albani).
2.
Dzabh [arab: ذبح],
menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Ini
cara menyembelih umumnya binatang, seperti kambing, ayam, dst.
Konsep sembelihan dalam Islam atau Dzabh [arab: ذبح], telah
meletakkan garis panduan dalam penyembelihan hewan dengan baik dan teliti. Pengetahuan
mendalam mengenai kaedah penyembelihan yang mengikut syariat sangatlah penting
karena ia berkaitan erat dengan factor kesehatan jismiyah dan ruhiyah.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Diharamkan kepada kamu
(memakan) bangkai (binatang yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar
mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang yang disembelih
kerana yang lain dari Allah, dan yang mati tercekik, dan yang mati dipukul,
dan yang mati jatuh dari tempat yang tinggi, dan yang mati ditanduk, dan yang
mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum habis
nyawanya), dan yang disembelih atas berhala.”
(Surah Al-Maidah: 3)
Dalam Islam sembelihan haruslah
dibagian tubuh yang secara cepat dapat mematikan yakni yang paling dapat banyak
mengeluarkan darah, yaitu kerongkongan. Hal ini sesuai dengan beberapa hadits
berikut:
رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا
نَلْقَى الْعَدُوَّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
فَكُلُوهُ مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفُرًا وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ
أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
Rafi’ bin Khadij
berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan berjumpa musuh
kami besok, tetapi kami tidak punya pisau (untuk menyembelih).” Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa saja darah yang dialirkan dan disebut
nama Allah atasnya, maka makanlah, selama bukan dengan gigi atau kuku, aku
akan katakan kepada kalian tentang hal itu. Adapun gigi dia adalah tulang,
sedangkan kuku adalah pisau bagi orang Habasyah (etiopia).” (HR.
Bukhari, No. 2356, 5179. At Tirmidzi, No. 1491. Abu Daud, No. 2821.
An Nasa’i, No. 4404. Ibnu Abi Syaibah, 4/626. Ath
Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 4263. Al Baihaqi, As Sunan
Al Kubra No. 18706. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya).
Imam Abu Thayyib Abadi Rahimahullah berkata:
وَالْحَدِيث دَلِيل عَلَى
أَنَّهُ يَجُوز الذَّبْح بِكُلِّ مُحَدَّد يُنْهِر الدَّم فَيَدْخُل فِيهِ
السِّكِّين وَالْحَجَر وَالْخَشَبَة وَالزُّجَاج وَالْقَصَب وَسَائِر الْأَشْيَاء
الْمُحَدَّدَة
“Hadits ini merupakan dalil bahwa dibolehkan menyembelih dengan segala benda
yang tajam yang bisa mengalirkan darah, termasuk di dalamnya adalah pisau,
batu, kayu, kaca, bambu, dan segala sesuatu yang tajam.” (Imam Abu Thayyib
Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud, 8/15. Cet.2. Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut - Libanon).
Dari
uraian ini dapat disimpulkan, bahwa:
- Dilarang menyembelih dengan tulang, gigi, dan kuku
- Dibolehkan dengan seluruh benda selain tulang dan kuku, tapi harus tajam
- Menyembelih hendaknya dibagian tubuh hewan yang paling mematikan
- Wajib membaca nama Allah Ta’ala (bismillah) sebelum menyembelih
Tata
cara dalam Penyembelihan
Pada bagian ini kita akan membahas
tata cara Dzabh, karena Dzabh inilah menyembelih yang dipraktikkan di tempat
kita -bukan nahr-.
1.
Hendaknya yang menyembelih adalah shohibul kurban sendiri, jika dia
mampu. Jika tidak maka bisa diwakilkan orang lain, dan shohibul kurban
disyariatkan untuk ikut menyaksikan.
2.
Gunakan pisau yang setajam mungkin. Semakin tajam, semakin baik. Ini
berdasarkan hadis dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ
شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan
berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan
ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian
mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).
3.
Tidak mengasah pisau dihadapan hewan yang akan disembelih. Karena ini akan
menyebabkan dia ketakutan sebelum disembelih. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma,
أَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ
تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya
kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di
leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu
melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya
sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR.
Ath-Thabrani dengan sanad sahih).
4.
Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:
Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:
Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.
5. Membaringkan hewan di atas lambung sebelah kiri.
Imam An-Nawawi mengatakan,
Terdapat beberapa hadis tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.) dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).
Imam An-Nawawi mengatakan,
Terdapat beberapa hadis tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.) dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).
Penjelasan yang sama juga
disampaikan Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Hewan yang hendak
disembelih dibaringkan ke sebelah kiri, sehingga memudahkan bagi orang yang
menyembelih. Karena penyembelih akan memotong hewan dengan tangan kanan,
sehingga hewannya dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’,
7:442).
6.
Menginjakkan kaki di leher hewan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas
bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ضحى
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بكبشين أملحين، فرأيته واضعاً قدمه على صفاحهما
يسمي ويكبر
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan
meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah ….
(HR. Bukhari dan Muslim).
7.
Bacaan ketika hendak menyembelih.
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus membaca basmalah. Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat. Allah berfirman,
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus membaca basmalah. Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat. Allah berfirman,
وَ
لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..
Janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).
8.
Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu akbar) setelah membaca basmalah
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
9.
Pada saat menyembelih dianjurkan menyebut nama orang yang jadi tujuan
dikurbankannya herwan tersebut.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban atas namaku dan atas nama orang yang tidak berkurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau
hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul kurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul kurban atau
Berdoa agar Allah menerima kurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul kurban).” [1]
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban atas namaku dan atas nama orang yang tidak berkurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau
hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul kurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul kurban atau
Berdoa agar Allah menerima kurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul kurban).” [1]
Catatan: Bacaan takbir dan menyebut
nama sohibul kurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Sehingga kurban tetap sah
meskipun ketika menyembelih tidak membaca takbir dan menyebut nama sohibul
kurban.
10. Disembelih dengan cepat untuk meringankan apa yang dialami
hewan kurban.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.
11. Pastikan bahwa bagian tenggorokan, kerongkongan, dua urat
leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong.
Syekh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh Sa’id Al-Qohthoni):
Syekh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh Sa’id Al-Qohthoni):
- Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
- Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
- Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما
أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السن والظفر
“Selama mengalirkan darah dan telah
disebut nama Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
12. Sebagian ulama menganjurkan agar membiarkan kaki kanan
bergerak, sehingga hewan lebih cepat meregang nyawa.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah kiri. Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)
Imam An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah kiri. Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)
13. Tidak boleh mematahkan leher sebelum hewan benar-benar
mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.
Dinyatakan dalam Fatawa Syabakah
Islamiyah, “Para ulama menegaskan makruhnya memutus kepala ketika
menyembalih dengan sengaja. Khalil bin Ishaq dalam Mukhtashar-nya untuk
Fiqih Maliki, ketika menyebutkan hal-hal yang dimakruhkan pada saat
menyembelih, beliau mengatakan,
وتعمد
إبانة رأس
“Diantara yang makruh adalah secara
sengaja memutus kepala” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 93893).
Pendapat yang kuat bahwa hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal.
Imam Al-Mawardi –salah satu ulama Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih burung sampai putus lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.”
Imam Syafi’i mengatakan,
Pendapat yang kuat bahwa hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal.
Imam Al-Mawardi –salah satu ulama Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih burung sampai putus lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.”
Imam Syafi’i mengatakan,
فإذا
ذبحها فقطع رأسها فهي ذكية
“Jika ada orang menyembelih,
kemudian memutus kepalanya maka statusnya sembelihannya yang sah” (Al-Hawi
Al-Kabir, 15:224).
Hukum Sembelihan Yang Tidak Menyebut
Nama Alloh
Para ulama
berselisih pendapat tentang ini tentang boleh tidaknya, sehingga membawa
konsekuensi halal atau haramnya hasil sembelihannya. Dalam hal ini ada Ada tiga
pendapat ulama.
1.
Argumen Yang Membolehkan, baik sengaja atau lupa membaca tasmiyah
Kelompok
ini berpendapat, bahwa membaca tasmiyah hanyalah sunah bukan wajib. Inilah
pendapat Ali bin Abi Thalib dari golongan sahabat, Imam An Nakha’i, Imam Hammad
bin Abu Sulaiman, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam Ishaq ar Rahawaih, Imam
Asy Syafi’i, Imam Ibnul Mundzir, dan banyak ulama fiqih lainnya, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam An Nawawi.
Imam
Ibnu Katsir berkata: “Sesungguhnya tidaklah disyaratkan membaca tasmiyah, jika
tidak membacanya karena sengaja atau lupa, maka tidaklah memudharatkan, inilah
madzhab Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan sekalian para sahabatnya, dan
satu riwayat dari Imam Ahmad, dan satu riwayat dari Imam Malik, juga ada
keterangan tentang itu dari sahabatnya, yakni Asyhab bin Abdul Aziz. Juga
dihikayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Atha bin Abi Rabah. Wallahu
A’lam “ (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 3
/324-325. Dar thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’).
Golongan ini memiliki beberapa alasan, di
antaranya:
Allah
Ta’ala berfirman:
“Diharamkan
kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang
keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang
Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang
mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati
ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu
sembelih (sebelum habis nyawanya), dan Yang disembelih atas nama berhala;
dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib Dengan undi batang-batang anak panah.
“ (QS. Al Maidah (5): 3)
Maksud ayat ‘kecuali yang sempat
kamu sembelih’ artinya orang Islam. Bagi kelompok ini keislaman seseorang sudah
cukup. Jika memang tidak cukup, pasti ayat tersebut menekankan pengucapan
bismillah, tetapi ternyata tidak ada. Maka halal, sembelihan orang Islam, yang
tidak membaca bismillah.
Sedangkan ayat yang berbunyi:
“Dan
janganlah kamu makan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik
(berdosa) “ (QS. Al An’am (6): 121)
Menurut
Imam Asy Syafi’i maksudnya adalah: “Terhadap apa-apa yang disembelih untuk
selain Allah, sebagaimana Al An’am ayat:145:
“Atau
sesuatu yang dilakukan secara fasiq, yaitu binatang yang disembelih selain
untuk Allah.”. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 3/325)
Hal ini dikuatkan lagi oleh hadits:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال جاء
رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت الرجل منا يذبح وينسى
ان يسمى فقال النبي صلى الله عليه وسلم اسم الله على كل مسلم. . مَرْوَانُ
بْنُ سَالِمٍ ضَعِيفٌ. وَقَالَ ابْنُ قَانِعٍ « اسْمُ اللَّهِ عَلَى فَمِ كُلِّ
مُسْلِمٍ ».
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang
seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama Allah? Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Nama Allah ada pada setiap muslim.” (HR.
Sunan Ad Daruquthni, Bab Ittikhadz Al Khal minal Khamr, 94.
Sanadnya terdapat Marwan bin Salim, dia dhaif. Berkata Ibnu Qani’:” Nama Allah
ada pada setiap mulut orang Islam.” Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra
, No. 18673)
Ada Hadits lain yang menguatkan lagi:
عن ابن عباس رضى الله عنهما عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال المسلم يكفيه اسمه فان نسى ؟ ان يسمى حين يذبح فليذكر اسم
الله وليأكله
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bahwa dia bersabda: “Seorang muslim cukuplah namanya sendiri, maka
jika dia lupa (menyebut nama Allah) ketika menyembelih, maka sebutlah nama
Allah setelah itu, lalu makanlah.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,
Juz. 9, Hal. 239. No. 18669).
Dalam As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi ada atsar dari Ibnu
Abbas:
عن ابن عباس رضى الله
عنهما فيمن ذبح ونسى التسمية قال المسلم في اسم الله وان لم يذكر التسمية
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhuma, tentang orang yang menyembelih dan lupa tasmiyah (menyebut nama
Allah), dia menjawab: “Seorang muslim ada nama Allah, walau pun dia tidak
menyebut tasmiyah.” (Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 18672).
Ada hadits lain yang menguatkan pendapat ini:
عن الصلت قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله أو لم يذكر
Dari Shalt, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Sembelihan seorang muslim adalah halal, baik dia menyebut nama Allah
atau tidak menyebut.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al kubra ,
No. 18674).
Riwayat lain:
عن أناس من أصحاب النبي عليه السلام
أنهم سألوا النبي صلى الله عليه وسلم ، فقالوا : أعاريب يأتوننا بلحمان
مشرحة ، والجبن ، والسمن ، والفراء ، ما ندري ما كنه إسلامهم ؟ قال : « انظروا ما
حرم عليكم فأمسكوا عنه ، وما سكت عنه فإنه عفا لكم عنه ، وما كان ربك نسيا
Dari
para sahabat Nabi, bahwa mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam: “Orang Badui biasa datang kepada kami dengan membawa daging, keju,
dan samin, padahal kita tidak tahu keislaman mereka?” Nabi menjawab: “Lihatlah
apa-apa yang Allah haramkan buat kalian, maka peganglah itu. Sedangkan yang Dia
diamkan, maka itu termasuk yang dimaafkanNya buat kalian, sesungguhnya Tuhanmu
tidaklah lupa.” (HR. Ath Thahawi, Musykilul Atsar No. 638).
Hadits lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang medatangi kami sambil
membawa daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging
itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan
makanlah.” (HR. Bukhari No. 1952, 5188, 6963. Al Baihaqi, As Sunan Al
Kubra No. 18667. Malik No. 1038).
Demikianlah keterangan dan hujjah dari golongan yang mengatakan bolehnya
menyembelih tanpa membaca bismillah bagi seorang muslim, baik sengaja atau
lupa. Sekian.
2.
Argumen yang Mengharamkan
Kelompok ini punya pendapat bahwa haram hukumnya memakan hewan sembelihan yang
tidak disebut nama Allah Ta’ala atasnya. Dengan kata lain, wajib hukumnya
tasmiyah ketika menyembelih.
Dalilnya adalah:
“Dan
janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian
itu adalah perbuatan fasik (berdosa) “ (QS. Al An’am (6): 121)
Berkata
Imam Ibnu Katsir: “Dengan ayat inilah adanya madzhab yang menyatakan tidak
halal sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah, walau yang meyembelih adalah
seorang muslim.”
Lalu dia berkata: “Ada yang mengatakan, tidak halal sembelihan dengan sifat
seperti itu, sama saja apakah dia meninggalkan secara sengaja atau lupa. Inilah
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nafi’ pelayan Ibnu Umar, Amir Asy
Sya’bi, Muhammad bin Sirin, ini juga riwayat dari Imam Malik, juga
salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal, yang didukung oleh sekolompok
pengikutnya baik yang dulu atau belakangan. Inilah yang dipilih oleh Abu
Tsaur, Daud Azh Zhahiri, juga Abu al Futuh Muhammad bin Muammad
bin Ali Ath Tha’i dari kalangan pemgikut Syafi’i yang belakangan
dalam kitab Al Arba’in, mereka juga berhujjah dengan Al Maidah ayat:4. Makanlah
dari apa Yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah nama Allah atasnya.” (Tafsir
Al Quran Al Azhim, 3/324).
Sedangkan hadits:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال جاء
رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت الرجل منا يذبح وينسى
ان يسمى فقال النبي صلى الله عليه وسلم اسم الله على كل مسلم. . مَرْوَانُ
بْنُ سَالِمٍ ضَعِيفٌ. وَقَالَ ابْنُ قَانِعٍ « اسْمُ اللَّهِ عَلَى فَمِ كُلِّ
مُسْلِمٍ ».
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang
seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama Allah? Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Nama Allah ada pada setiap muslim.” (HR. Sunan
Ad Daruquthni, Bab Ittikhadz Al Khal minal Khamr, 94. Sanadnya
terdapat Marwan bin Salim, dia dhaif. Berkata Ibnu Qani’:” Nama Allah ada pada
setiap mulut orang Islam.” Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra , No.
18673).
Hadits
ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab perawinya yakni Marwan bin Salim adalah
Dhaif. Imam Ibnu katsir berkata: “tetapi isnad hadits ini dhaif, karena ada
rawi Marwan bin Salim, lebih dari satu imam yang membicarakan kedhaifannya. “ (Tafsir
Al Quran Al Azhim, 3/327).
Imam
Bukhari berkata tentang marwan bin Salim: Munkarul hadits. Ahmad dan lainnya:
tidak tsiqah. Ad daruquthni berkata: matruk. Muslim dan Abu Hatim berkata:
munkarul hadits. Abu Urubah al harani berkata: memalsukan hadits. Ibnu Adi:
kebanyakan haditsnya tidak diikuti oleh orang-orang terpercaya. An Nasa’i
berkata; Matrukul hadits. (Al Majruhin, Juz. 3, Hal. 13)
Oleh
karena itu Imam Al Baihaqi sendiri mengatakan bahwa hadits ini munkar. (As
Sunan Al Kubra No. 18673)
عن ابن عباس رضى الله عنهما عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال المسلم يكفيه اسمه فان نسى ؟ ان يسمى حين يذبح فليذكر اسم
الله وليأكله
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: “Seorang muslim cukuplah namanya
sendiri, maka jika dia lupa (menyebut nama Allah) ketika menyembelih, maka
sebutlah nama Allah setelah itu, lalu makanlah.” (HR. Al Baihaqi, As
Sunan Al Kubra, Juz. 9, Hal. 239. No. 18669).
Ini juga tidak bisa dijadikan hujjah, sebab di dalamnya ada Muhammad bin Yazid
bin Sinan, yang didhaifkan oleh sebagian besar ulama, hanya sedikit
saja yang menganggapnya tsiqah (kredible). Abu Daud
mengatakan: dia bukan apa-apa. Ad Daruquthni mengatakan: dhaif. At Tirmidzi
mengatakan: riwayat darinya tidak bisa diikuti, dia dhaif. Abu Hatim
mengatakan: dia bukan apa-apa, dan kelalaiannya lebih parah dibanding ayahnya.
Tetapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam ats tsiqat. Maslamah juga
mengatakan tsiqah, sedangkan Al Hakim mengatakan tsiqah terhadap
riwayat darinya, jika diriwayatkan dari Mas’ud. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzib
At Tahdzib, 31/525. Cet. 1, 1326H. Mathba’ah Dairatul Ma’arif. An
Nizhamiyah – India)
Riwayat lainnya:
عن الصلت قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم
ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله أو لم يذكر
Dari Shalt, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Sembelihan seorang muslim adalah halal, baik dia menyebut nama Allah
atau tidak menyebut.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al kubra ,
No. 18674)
Hadits ini walau pun shahih, tetapi mursal.
Karena Shalt seorang tabi’in yang tidak bertemu lansung dengan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Sebagian imam seperti Imam Asy Syafi’i dan lain-lain
tidak menjadikannya sebagai hujjah.
Kelompok yang mengharamkan, juga berdalil dengan ayat berikut:
“Maka
makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” (QS. Al
An’am (6): 118)
Jadi,
syarat keimanan menurut ayat ini adalah menyebut nama Allah Ta’ala ketika
menyembelih.
Juga
dikuatkan oleh hadits:
عَنْ عَدِيٍّ قَالَ : { قُلْتُ : يَا
رَسُولَ اللَّهِ إنَّا قَوْمٌ نَرْمِي فَمَا يَحِلُّ لَنَا ؟ قَالَ : يَحِلُّ
لَكُمْ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذَكَرْتُمْ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَخَزَقْتُمْ
فَكُلُوا مِنْهُ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَا قَتَلَهُ
السَّهْمُ بِثِقَلِهِ لَا يَحِلُّ )
Dari Adi, dia berkata: AKu berkata: “Ya Rasulullah, kami adalah kamu yang
memanah, maka apakah yang halal bagi kami?” Rasulullah menjawab: “Yang halal
bagi kamu adalah apa yang kamu sembelih dan kamu tombak, dan yang kamu sebut
nama Allah atasnya, maka makanlah itu.” Diriwayatkan Ahmad, dan ini dalil
bahwa apa-apa dibunuh dengan panah adalah tidak halal. (Imam Asy Syaukani,
Nailul Authar, 8/135. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah)
Pada halaman lain Imam Syaukani
berkata:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ
التَّسْمِيَةَ وَاجِبَةٌ لِتَعْلِيقِ الْحِلِّ عَلَيْهَا
“Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tasmiyah adalah wajib untuk mengkaitkan
kehalalan (hewan sembelihan)” (Nailul Athar, 8/136)
Dari Rabi’ bin Khadij Radhiallahu ‘Anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ
وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ
“Apa saja darah yang dialirkan dan disebut
nama Allah atasnya,maka makanlah” (HR. At Tirmidzi No. 1491,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5565)
Ini
adalah dalil yang tegas tentang keharusan membaca nama Allah Ta’ala atas hewan
sembelihan yang akan dimakan.
Dalil
lain, dari Ibnu umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
وَلَا
آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Aku tidaklah memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya.” (HR.
Bukhari)
Demikianlah
dalil-dalil yn menyatakan haramnya sembelihan tanpa menyebut nama Allah Ta’ala
Ada pun hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang medatangi kami sambil
membawa daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap
daging itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah
atasnya, dan makanlah.” (HR. Bukhari No. 1952, 5188, 6963. Al Baihaqi,
As Sunan Al Kubra No. 18667. Malik No. 1038)
Menurut
kelompok ini hadits ini mesti ditakwil, sebab tidak ada keterangan yang pasti,
apakah bismillah dibaca atau tidak sebagaimana yang tertera dalam hadits ini
sendiri. Oleh karena itu hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah yang kuat dan
spesifik (qath’iyud dalalah).
Imam
Ibnu Taimiyah memilih dan menguatkan bahwa pandangan yang mewajibkan membaca
tasmiyah secara mutlak:
وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ ؛
فَإِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ قَدْ عَلَّقَ الْحَلَّ بِذِكْرِ اسْمِ اللَّهِ
“Dan ini merupakan zhahir dari bebagai pendapat, maka sesungguhnya Al Kitab Dan
As Sunnah telah mengaitkan kehalalan dengan menyebut nama Allah Ta’ala.” (Majmu’
Fatawa, 9/247. Mawqi’ Al Islam)
3.
Yang mengatakan haram jika sengaja tidak membaca, namun halal jika karena lupa.
Berkata Imam Ibnu Katsir:
إن ترك البسملة على
الذبيحة نسيانا لم يضر وإن تركها عمدًا لم تحل هذا هو المشهور من مذهب
الإمام مالك، وأحمد بن حنبل، وبه يقول أبو حنيفة وأصحابه، وإسحاق بن راهويه: وهو
محكي عن علي، وابن عباس، وسعيد بن المُسَيَّب، وعَطَاء، وطاوس، والحسن البصري،
وأبي مالك، وعبد الرحمن بن أبي ليلى، وجعفر بن محمد، وربيعة بن أبي عبد الرحمن.
“Jika meninggalkan
bacaan basmalah karena lupa maka itu tidaklah memudharatkan, dan jika
meninggalkannya karena sengaja maka tidak halal.” Ini adalah pandangan masyhur
dari madzhab Imam Malik, Ahmad bin Hambal, dengannya pula pandangan Abu
hanifah dan sahabat-sahabatnya, Ishaq bin Rahawaih, juga dihikayatkan dari Ali,
Ibnu abbas, Said bin al musayyab, Atha’, Thawus, Hasan al bashri, Abu malik,
Abdurrahman bin Abi Laila, Ja’far bin Muhammad, dan rabi’ah bin Abdurrahman.” (Tafsir
Al Quran Al Azhim, 3/ 326)
Dalil kelompok ini
adalah:
Allah Ta’ala befirman:
"Ya
Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS.
Al Baqarah (2): 286)
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah bersabda:
إن الله وضع عن أمتي
الخطأ والنسيان، وما استكرهوا عليه
“Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak menganggap, pen) dari umatku: Orang yang
salah, yang lupa, dan yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, No.
2045, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shaihul Jami’ No. 7110,
dan dihasankan oleh Imam An Nawawi dalam Arbai’innya no. 39)
Demikianlah tiga kelompok dengan masing-masing hujjahnya. Manakah yang
benar?Jika diperhatikan semua dalil secara menyeluruh, maka
pandangan kelompok tiga lebih kuat; yakni haram jika sengaja tidak membaca,
namun halal jika karena lupa.
Maroji’
Kitab :
1.
Tafsir
Al Quran Al Azhim, Al - Imam Ibn Katsir
2.
Shahih Bukhori
3.
Shahihul Jami’ , Syaikh Al Albani
4.
Aunul Ma’bud, Imam Abu Thayyib Syamsul
Haq Al ‘Azhim Abadi
5.
As Sunan Al Kubra, Imam Baihaqi
6.
Salatul
Idain, Syekh Sa’id Al-Qohthoni
7.
Al-Majmu’
Syarh Muhadzab, Imam Nawawi
8.
Syarhul
Mumthi’, Syaikh ‘Utsaimin
9.
Majmu’
Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10.
Tahdzib
At Tahdzib, Al – Imam Ibnu Hajar ‘Atsqolani
11.
Nailul Athar, Imam Syaukani