Demi Masa

MENSUCIKAN HATI DALAM MENGGAPAI RIDHO ILAHI

Minggu, 20 November 2011

Wahai ibu ….. semoga Alloh memberikan hidayah kepadamu


Wahai ibu ….. semoga Alloh memberikan hidayah  kepadamu
Bagaimana jika kita melihat ibu kita masih dalam berada kekufuran, masih melakasanakan adat kemusyrikan, masih melaksanakan maksiat dan pembangkangan kepada Ilahi Robbii…..
Apa yang harus kita lakukan sebagai anak jika melihatnya seperti itu, pasti sungguh teriris – iris lah hati, sungguh pilu dan kelulah lidah ini….. tetapi bagaimanapun ia tetap ibunda kita, orang yang melahirkan dan membesarkan kita, orang yang memberikan kasih sayang kepada kita, sedangkan Alloh tetap memerintahkan untuk birrul walidain. Mari kita tengok sikap sahabat Rosululloh bagaimana ia harus berbuat yang terbaik buat ibundanya. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, sahabat yang sibuk dengan ilmu dan hadits nabi, sahabat yang menjadi tempat bertanya masalah Islam. Dan ia adalah Abu Hurairah , ternyata ia sungguh memberi contoh kepada kita bagaimana cara berbuat baik kepada ibunda yang masih dalam kekufuran, mari kita simak kisah berikut ini :
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.
Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.
“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.
Dan perhatikan kisah jeritan hati seorang ibu yang ia tulis dalam suratan hatinya.
Anakku….
Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.
Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.
Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.

Maroji :   Shohih Muslim
Abu Hayyan Ahmad

Jumat, 11 November 2011

Wahai ibu …. Kenapa engkau bilang aku ini anak bodoh


Wahai ibu …. Kenapa engkau bilang aku ini anak bodoh
“ Wahai orang – orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok – olokkan kaum yang lain , boleh jadi mereka yang diolok – olokkan lebih baik dari pada yang mengolok – olokkan, dan janganlah pula wanita – wanita mengolok – olok wanita yang lain boleh jadi wanita -  wanita yang diperolok – olokkan lebih baik dari pada mereka yang mengolok – olok. Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil - memanggil  dengan gelar – gelar yang buruk. Seburuk buruk panggilan adalah panggilan yang fasik setelah beriman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang – orang yang dzalim. “ ( QS. Al – Hujarat : 11 ).
“ Barangsipa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir berkatalah yang baik atau diam”. ( Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Alasan diturunkan dari bagian  ayat ini  dapat ditemukan dalam riwayat Abu Jubayrah ibnu Ad – Dhahak , ia menyatakan bahwa sewaktu Nabi akan memanggil salah seorang dari mereka (  Para sahabat ) dengan salah satu julukannya, orang – orang Madinah memberitahu Rosululloh bahwa orang tersebut membenci julukkan tersebut. Segera sesudah itu ayat ini diwahyukan “ janganlah kamu memanggil dengan gelar – gelar yang buruk.
Awal mula muncul ucapan lebel bodoh.
Ungkapan pada judul diatas pernah penulis dengar ketika melihat seorang anak sedang bersedih bahwa ibunya mencapnya sebagai anak yang bodoh, begitu juga teman – temannya ikut – ikutan bilang bodoh, tidak hanya itu ada oknum guru di sekolahnya juga memberikan lebel “ anak itu memang bodoh “, padahal ucapan – ucapan diatas sungguh meruntuhkan percaya diri anak, sehingga timbul penyakit minder pada dirinya dan ia merasa menjadi orang yang pesimis dan tidak berguna disebabkan telah muncul pada dirinya bahwa ia telah ditolak oleh lingkungannya, padahal dalam Islam perbuatan semacam ini sangat dicela oleh Alloh dan Rosululloh. Ingatlah wahai para ibu, seluruh ucapan yang baik maupun yang buruk kepada anak merupakan doa kepada mereka, mengatakan ia sebagai anak yang bodoh berarti mendoakan anaknya agar menjadi anak bodoh walaupun dalam hati ibu tidak bermaksud demikian.
Penyebab anak merasa bodoh.
Ada beberapa penyebab anak merasa dirinya bodoh, antara lain :
1.       Anak dimasukkan kedalam kelompok kelas kurang berprestasi.
2.       Seringnya anak dihadapkan dengan persoalan yang terlampau berat dan gagal menyelesaikan persoalan tersebut.
3.       Lebel negatif yang diberikan orangtua seperti “ dasar anak bodoh “ akan diserap dan membuat anak percaya bahwa “ aku ini memang anak bodoh“. Sebagian anak mungkin tak akan menghiraukan kata – kata seperti itu. Tapi sebagian lain akan membangun identitas dirinya dari komentar – komentar yang negatif ini.
Apa akibat dari lebeling pada anak tersebut ?
Jika anak merasa dirinya bodoh efeknya bisa luas. Anak jadi malas melakukan tugas sekolah dan tanggung jawabnya karena merasa percuma. Hal ini merembet pada kepercayaan diri yang rendah, anak jadi tidak berani melakukan tugas dan tanggung jawab yang sudah menjadi bagian dalam dirinya, apalagi disuruh mencoba menyelesaikannya, ia dipenuhi  ketakutan dan perasaan bersalah yang mendalam.
Adakah jalan keluar dari masalah tersebut?
Solusi yang disarankan jika putra putrinya mengalami masalah ini, antara lain :
1.       Menyediakan waktu khusus dengan anak secara teratur ( reguler ).
2.       Diskusikan apa yang anak alami sepanjang hari dan tanyakan perasaannya. Hal sepele seperti ini secara otomatis bisa mengurangi tingkat stress anak. Paling tidak anak akan merasa dirinya tetap dianggap penting oleh orangtua.
3.       Jika anak stress pada suatu pelajaran, bantu ia untuk mempelajarinya.
4.       Jika anak berhasil menyelesaikan tugasnya berilah ia pujian dengan rasa bangga. Pastikan, ia tahu kalau ayah dan ibunya  percaya bahwa dirinya mempunyai kemampuan.
5.       Tahan diri untuk cepat – cepat turun tangan membantu anak untuk melakukan sesuatu, membantu boleh – boleh saja, tapi tidak berarti mengambil alih atau langsung ikut campur tangan tanpa diimintanya.
6.       Tanamkan sikap bahwa jika berbuat salah segera memperbaiki kesalahannya dan memohon ampun kepada Alloh dengan memperbanyak istighfar.
7.       Motivasilah selalu agar ia berani mencoba, hindarkan perasaan takut salah, yang terpenting bukan betul atau salah tapi bagaimana cara ia melakukannya.


Oleh                  :  Ahmad Riyadi, S.Pd.I ( Waka Bid Kesiswaan dan Guru Bimbingan Konseling SDIT Ulul  Albab).
Maroji ‘ kitab :
Ø  Menolak tafsir bid’ah, Abu Aminah Bilal Philips
Ø  Tarbiyatul aulad, Dr. Nasih Ulwan
Ø  Jamiul ulul wal hikam, Ibnu Rajab Al – Hambali
Ø  Seratus satu masalah di sekolah, Rahmitha P. Sandjojo, P.si.

Selasa, 01 November 2011

Pak Guru kenapa Saya Di Hukum ?

Pak Guru kenapa Saya Di Hukum ?
“ Barangsiapa yang sewaktu di didik diperlakukan kasar dan keras oleh para guru, dan pembantu maka sikap keras itu akan menguasai dirinya, dan jiwanya akan dipenuhi oleh sikap keras itu. Akibatnya perkembangan jiwanya pupus. Justru sikap keras itu mendorong dia malas, berbuat dusta, dan keji karena takut tangan yang keras itu akan melayang dia atas badannya. Didikan keras akan juga mengajarinya bersikap keras pula, suka membuat makar – makar dan tipu daya sehingga hal itu menjadi adat kebiasaan dan akhlak yang dapat merusak nilai – nilai kemanusiaan yang ada padanya.” ( Ibnu Khaldun, Athfalul muslimin kaifa robbahumun nabiyyil amin ).
Judul diatas sering terlontar dari ucapan seorang anak yang di alaminya  ketika anak tersebut  di anggap tersalah,  ia harus diminta mempertanggung jawabkan atas perbuatannya sehingga anak dalam kebingungan kenapa ia harus dihukum padahal bukan dia pelakunya, tetapi sebagian guru sering mengeneralisir masalah tersebut tanpa mengumpulkan data – data dilapangan, kenapa dan bagaimana peristiwa ini bisa terjadi.
Bagaimana pandangan Islam menyikapi masalah ini ?
Pada dasarnya tujuan ditetapkannya hukuman dalam pendidikan Islam adalah semata – mata untuk pembinaan dan perbaikan, bukan untuk melampiaskan rasa dendam. Sebaiknya kita memperhatiakan watak temperamen anak sebelum memberi hukuman, memberikan pengertian agar memahami dan memperbaiki kesalahan yang diperbuatnya, selanjutnya memaafkan kesalahan dan kekeliruannya.
Bagaimana kenyataan di lapangan ?
Tetapi pada umumnya dalam dunia pendidikan saat ini kenyataan dilapangan sangat berbeda dan sangat jauh dari nilai – nilai Islam.  Sebagian oknum guru ada yang menggunakan sanksi fisik agar murid – muridnya patuh, dalam hal ini  jelas melanggar aturan dan hak anak. Efektifitas sanksi ini juga dipertanyakan, apakah anak benar – benar disiplin atau malah membuatnya membangkang.
Pahami kejiwaan anak dalam mendidik.
Perhatikan kejiwaan anak – anak didik kita , hanya karena sedikit kesalahan langsung dilampiaskan pada anak tersebut tanpa melakukan cross cek, hanya karena ada masalah keluarga yang kurang harmonis atau masalah pribadi yang menghantuinya, jangan sampai terbawa – bawa ke sekolah yang mengakibatkan kesalahan yang sangat fatal, sebelum timbul penyesalan di kemudiaan hari. Kekerasan dalam mendidik tanpa diiringi dengan pemahaman perkembangan kejiwaan anak akan menumbuhkan traumatis yang hebat pada anak, sehingga dalam diri anak tersebut munculah pikiran bermacam – macam yang sangat menghantuinya, seolah ia telah ditolak oleh keluarganya, teman – temannya bahkan gurunya disekolah. Maka membangun komunikasi dalam mendidik anak sangat diperlukan. Anak yang berhari – hari, berbulan – bulan bahkan bertahun – tahun diperlakukan dengan serba keras maka akan menimbulkan luka traumatis yang mendalam. Ia akan mengalami “ trauma belajar” seakan belajar merupakan beban yang sangat berat yang harus di musnahkan dari bagian kehidupannya. Sungguh untuk menyembuhkan anak yang terkena traumatis akibat kekerasan yang dilakukan seorang guru di sekolah sangat membutuhakan waktu yang cukup lama, sehingga membutuhkan kesabaran yang tinggi dalam memulihkan kembali jiwanya yang terluka tersebut.
Apa yang harus dilakukan dalam mengatasi guru yang suka main fisik.
Ada beberapa tips dalam mengatasi masalah ini, antara lain :
1.       Jika di sekolah ditemui aturan yang mengandung kekerasan sudah berlaku lama, buatlah negoisasi dengan pihak sekolah. Ungkapkan dengan alasan yang kuat, dampak apa yang bisa terjadi jika anak mendapat sanksi tersebut.
2.       Alangkah baik jika orangtua memberikan alternatif sanksi yang mendidik buat anak. Mintalah dukungan dari komite sekolah dan bangun komunikasi yang sehat antara pihak sekolah dengan orangtua murid.
3.       Lihatlah sejauhmana trauma fisik atau mental yang diderita anak, juga dampaknya pada semangat belajar. Jika sudah berat , jangan sungkan atau malu untuk berkonsultasi dengan psikolog yang ahli dalam disiplin ilmunya.
4.       Bersabarlah dalam menghadapi masalah ini dengan senantiasa membangun komunikasi yang sehat antara anak dengan teman , guru dan sekolahnya.
5.       Bertawakkalah kepada Alloh bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, sebagaimana orang yang tercebur kedalam lubang pasti akan Alloh takdirkan untuk bisa keluar dari lubang tersebut.
6.       Berfikirlah yang positif dan sehat kepada pihak – pihak terkait dalam menyeklesaikan masalah tersebut.
7.       Dalam menyelesaikan masalah sebaiknya mengedepankan semangat kekeluargaan dan ukhuwah Islam.


Wallohu a’lam bis showaab.

Oleh    :  Ahmad Riyadi, S.Pd.I ( Waka Bid. Kesiswaan dan Bimbingan Konseling SDIT ULUL Albab,   Tambun Selatan, Kab. Bekasi.
Maroji’  :  Kitab Athfalul muslimin kaifa robbahumun nabiyyil amin, Syekh Jamal Abdurrahman
                   Atsawaabu wal ‘ iqoobu wal atsaruhu fit Tarbiyatil Aulad, Dr, Ahmad Ali Budaiwi
                   Seratus satu masalah di sekolah, Rahmitha P. Sandjojo, P.si.